Sejarah Singkat Kerajaan Sumedang Larang, Cikal Bakal Kabupaten Sumedang

April adalah bulan bersejarah bagi salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Sumedang. Daerah yang terkenal akan kuliner tahu tersebut memperingati hari jadinya pada tanggal 22 April setiap tahunnya. Usut punya usut, penetapan tanggal 22 April sebagai hari jadi Kabupaten Sumedang tidak lepas dari sejarah Kerajaan Sumedang Larang (cikal bakal Kabupaten Sumedang). 

Berikut sejarah singkatnya.

1. Menjadi bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh

Berada di wilayah Jawa Barat, keberadaan Kerajaan Sumedang Larang tidak bisa lepas dari kerajaan-kerajaan besar lainnya di Tatar Sunda, terutama Kerajaan Sunda-Galuh. Menurut Muhsin Z. (2008), kedekatan hubungan dua kerajaan ini lebih karena kedekatan hubungan geneologis dan kekerabatan karena perkawinan.

Prabu Guru Aji Putih yang merupakan pendiri Kerajaan Sumedang Larang merupakan putra Aria Bimaraksa alias Ki Balangantrang alias Resi Agung. Sementara itu, Aria Bimaraksa sendiri adalah keturunan langsung atau cucu Maharaja Suradarma Jayaprakosa alias Wretikandayun yang merupakan pendiri Kerajaan Galuh pada tahun 612 Masehi.

Bersama keluarganya, Aria Bimaraksa melarikan diri saat terjadi perebutan takhta di antara cucu dan cicit Wretikandayun. Bersembunyi di sekitaran muara Sungai Cihonje, Aria Bimaraksa mendirikan gubuk dan membuka lahan untuk bertani. Sejak saat itulah, berangsung-angsur muncul perkampungan penduduk di sepanjang Sungai Cimanuk dan Cihonje. 

Kemudian, mantan senopati Kerajaan Galuh tersebut mendirikan padepokan yang ia beri nama Tembong Agung. Padepokan tersebut selanjutnya  dikelola oleh putranya, Prabu Guru Aji Putih. Menurut Thresnawaty S. (2011), Prabu Guru Aji Putih yang merupakan keturunan dari Galuh mampu membawa perubahan-perubahan dalam tata kehidupan masyarakat setempat yang telah ada dan dirintis oleh Aria Bimaraksa. 

Dan atas perintah Prabu Suryadewata (dalam konteks ini, belum bisa dipastikan siapa Prabu Suryadewata, kemungkinan ia adalah sosok yang memiliki otoritas tinggi di Kerajaan Galuh saat itu, sehingga bisa memberikan perintah pendirian kerajaan), didirikanlah Kerajaan Tembong Agung yang merupakan cikal bakal Kerajaan Sumedang Larang. 

Mendapat legitimasi dan dukungan dari Kerajaan Galuh, posisi dan kedudukan Kerajaan Sumedang Larang mulai diperhitungkan oleh kerajaan-kerajaan lain di bumi Pasundan.

2. Asal muasal nama Sumedang Larang

Setelah Prabu Guru Aji Putih wafat, Ia digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Batara Tuntang Buana atau yang lebih dikenal sebagai Prabu Tajimalela. Diceritakan bahwa, suatu waktu Batara Tuntang Buana mencari tempat untuk menyendiri guna mempelajari Elmu Kasumedangan, maka bertemulah ia dengan suatu daerah yang disebut Gunung Mandala Sakti (di sekitar Situraja). Singkat cerita, sepulangnya dari menyendiri, Batara Tuntang Buana mengubah nama Tembong Agung menjadi Sumedang Larang serta mengubah namanya sendiri menjadi Tajimalela.

Menurut legenda masyarakat, nama “Sumedang Larang” berasal dari ucapan Prabu Tajimalela, yaitu “insung medal, insung madangan” yang berarti “aku terlahir, aku memberi penerangan”. Syahdan, ketika Prabu Tajimalela menobatkan Gajah Agung sebagai raja Kerajaan Sumedang Larang untuk menggantikannya, menurut Thresnawaty S. (2011), saat itu terjadi peristiwa alam, langit diterangi oleh cahaya melengkung menyerupai taji atau selendang selama tiga hari tiga malam, maka keluarlah ucapan tersebut.

Dengan demikian, Prabu Tajimalela adalah raja pertama Kerajaan Sumedang Larang. Seperti halnya kerajaan, kekuasaan diwariskan secara turun-temurun, maka sepeninggalan Prabu Tajimalela, takhta Kerajaan Sumedang Larang diwariskan kepada keturunanya, yaitu:

1. Prabu Lembu Agung alias Jayadewata
2. Prabu Gajah Agung alias Atmabrata
3. Wirajaya alias Jagabaya alias Prabu Panggulingan
4. Mertalaya atau Sunan Guling
5. Tirtakusuma atau Sunan Tuakan
6. Sintawati  atau Nyi Mas Ratu Patuakan
7. Satyasih alias Nyi Mas Ratu Inten Dewata alias Ratu Pucuk Umun 
8. Raden Angkawijaya alias Prabu Geusan Ulun alias Pangeran Kusumadinata II

3. Penyebaran agama Islam di Kerajaan Sumedang Larang

Raja kedelapan Sumedang Larang adalah Setyasih, yang setelah naik tahta bergelar Nyi Mas Ratu Inten Dewata atau yang lebih dikenal dengan julukan Ratu Pucuk Umun. Ia menikah dengan Pangeran Santri alias Pangeran Kusumadinata I alias Ki Gedeng Sumedang alias Raden Kusen alias Maulana Soleh yang berasal dari Cirebon dan beragama Islam.

Secara garis keturunan, Pangeran Santri adalah cucu Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah dari anak perempuannya, Mertasari. Sementara itu, ayahnya adalah Pangeran Palakaran alias Pangeran Pamelekaran alias Pangeran Muhammad yang merupakan putra dari Ario Damar, Adipati Palembang ketika berada di bawah kekuasaan Majapahit. 

Menurut cerita, Pangeran Santri yang sebelumnya bernama Raden Soleh datang ke wilayah Kerajaan Sumedang Larang untuk menyebarkan agama Islam. Ia kemudian bertemu dan menikah dengan Ratu Pucuk Umun yang ketika itu memimpin Kerajaan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun pun turut beragama Islam. Hal tersebut terjadi pada pertengahan abad ke-16, ketika agama Islam mulai menggeser dominasi agama Hindu di Kerajaan Sumedang Larang.

Menurut Nurkhlisa (2023), pendekatan yang digunakan Pangeran Santri dalam menyebarkan agama Islam di Kerajaan Sumedang Larang adalah pendekatan kekeluargaan. Ia menggunakan media seni gembyung atau semacam kesenian hadroh.

Sementara itu, ada pula pendapat bahwa agama Islam sejatinya telah masuk ke wilayah Kerajaan Sumedang Larang sebelum pernikahan antara Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun. Menurut Thresnawaty (2011), penyebaran agama Islam di Sumedang adalah Maulana Muhammad alias Raden Kusen alias Pangeran Palangkaran, ayah Pangeran Santri. 

4. Puncak Kejayaan Kerajaan Sumedang Larang

Kerajaan Sunda Pajajaran mengalami keruntuhan setelah diserang oleh pasukan Kesultanan Banten yang dipimpin Maulana Yusuf, putra Pangeran Hasanudin pada tahun 1579. Penyerangan dilatarbelakangi terutama oleh ambisi Kesultanan Banten untuk memperluas wilayahnya sekaligus menyebarkan agama Islam melalui jalan penaklukan. Ketika itu, Kerajaan Sumedang Larang dipimpin oleh Raden Angkawijaya alias Prabu Geusan Ulun. 

Menurut Thresnawaty (2011), setelah mengetahui Kerajaan Sunda Pajajaran runtuh, Prabu Geusan Ulun tampil menyatakan dirinya sebagai nalendra (penguasa) dan segera memproklamirkan bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Sunda Pajajaran dan seluruh wilayah Kerajaan Pajajaran adalah daerah Kerajaan Sumedang Larang.

Setali dua uang, raja terakhir Kerajaan Sunda Pajajaran, secara simbolis memberikan restunya dengan mengirimkan Binokasih (mahkota yang dikenakan raja Pajajaran secara turun-temurun) melalui empat utusan langsung ke Kerajaan Sumedang Larang.

5. Keruntuhan Kerajaan Sumedang Larang

Setelah Prabu Geusan Ulun wafat, wilayah Kerajaan Sumedang larang dibagi menjadi dua untuk dua orang putranya, yaitu Pangeran Rangga Gede dan Pangeran Suriadiwangsa alias Rangga Gempol I alias Dipati Kusumadinata III. 

Pangeran Rangga Gede adalah putra sulung Prabu Geusan Ulun dari Nyi Mas Gedeng Waru. Sementara itu, Suriadiwangsa merupakan putra Prabu Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya. Menurut Thresnawaty (2011), dalam Babad Sumedang, Suriadiwangsa bukanlah anak biologis dari Prabu Geusan Ulun, melainkan putra dari Panembahan Girilaya Cirebon. Ketika ratu Harisbaya melarikan diri dari Cirebon, ia telah hamil dua bulan. Namun, Prabu Geusan Ulun menganggapnya sebagai anak kandung. 

Menurut Thresnawaty S. (2011), dengan diserahkannya kedudukan raja kepada dua orang putranya tersebut maka terjadilah dualisme kepemimpinan. Mungkin karena kedua putranya umurnya sebaya atau karena mungkin Pangeran Suriadiwangsa adalah putra angkat sejak masih dalam kandungan Ratu Harisbaya dan Pangeran Rangga Gede adalah putra sendiri (Surianingrat, 1983:33).

Singkat cerita, merasa terancam dengan ekspansi Kerajaan Mataram, Kesulatan Banten, dan Kompeni, sementara kekuatan yang ia miliki tidak akan sanggup melawan ketiganya, Pangeran Kusumadinata memutuskan untuk menyerahkan diri kepada Kerajaan Mataram.

Sejak saat itu, status Sumedang Larang bukan lagi kerajaan yang dipimpin seorang raja, melainkan daerah bawahan Kesultanan Mataram Islam. Menurut Thresnawaty (2011), selanjutnya Pangeran Kusumadinata mendapat gelar Pangeran Rangga Gempol I dan menjadi bupati wedana untuk seluruh Pasundan.

Selanjutnya, Sultan Agung mengubah “Sumedang Larang” menjadi “Priangan” yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti penyerahan diri deengan hati yang suci.