Rockefeller Foundation, Organisasi Nirlaba AS yang Tertarik Membantu Program MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang merupakan program andalan pemerintahan Prabowo-Gibran telah dimulai pada awal tahun 2025. Tercatat sudah beberapa sekolah yang telah mengimplementasikan program tersebut.

Berkenaan dengan MBG, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) mengungkapkan bahwa yayasan nirlaba asal Amerika Serikat, Rockefeller Foundation, tertarik untuk membantu pemerintah menyukseskan program tersebut. Bahkan, LBP mengungkapkan bahwa pihaknya telah bertemu yayasan tersebut di Bali dan Jakarta.

Dilansir dari antaranews.com, menurut LBP, Indonesia tidak memiliki permasalahan terkait pendanaan MBG, melainkan yang dibutuhkan pemerintah yakni manajemen operasional program.

Lalu, apa Rockefeller Foundation itu? Berikut rangkumannya.

1. Apa itu Rockefeller Foundation?

Rockefeller Foundation merupakan salah satu yayasan filantropi Amerika Serikat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di seluruh dunia. Untuk mencapai misinya, Rockefeller Foundation menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta bekerja dengan menggandeng berbagai mitra lintas sektor, baik pemerintah maupun non pemerintah.

Berbagai isu telah menjadi fokus yayasan yang berpusat di New York, Amerika Serikat, tersebut, terutama yang menyangkut perubahan iklim, ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, kemiskinan energi, dan kesehatan.

2. Didirikan oleh salah satu keluarga paling powerful dalam sejarah Amerika Serikat, Rockefeller

Rockefeller Foundation didirikan pada tahun 1913 oleh raja minyak Amerika Serikat, John D. Rockefeller, pasca pensiun dari Standard Oil.

Standard Oil merupakan cikal bakal perusahaan minyak Amerika Serikat, termasuk ExxonMobil dan Chevron, yang didirikan oleh John D. Rockefeller dan beberapa orang rekannya pada tahun 1870 di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Dua tahun berselang, Standard Oil telah menguasai hampir seluruh penyulingan minyak di Cleveland dengan menggunakan metode bisnis yang dianggap tidak adil dan merugikan persaingan pasar karena menerapkan praktik monopoli.

Pada tahun 1882, didirikan Standar Oil Trust, sebuah entitas yang mengontrol semua aspek bisnis minyak Amerika Serikat, mulai dari produksi hingga pemasaran. Dilansir dari Britannica, pada akhir abad ke-19, Standard Oil telah mengendalikan 90 hingga 95 persen penyulingan dari semua minyak yang diproduksi di Amerika Serikat.

Dalam catatan sejarah Amerika Serikat, berbagai upaya dilakukan untuk menghapus praktik monopoli Standard Oil. Puncaknya, pada tahun 1911, atas putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat, Standard Oil dipecah menjadi 34 perusahaan karena didakwa melanggar Sherman Antitrust Act atau undang-undang anti monopoli yang telah disahkan pada tahun 1890.

Keluar dari bisnis minyak, Rockefeller dengan dibantu anak dan manager keuangannya, mendedikasikan dirinya untuk amal dan kemanusiaan dengan mendirikan Rockefeller Institute for Medical Research (sekarang Rockefeller University), General Education Board, Rockefeller Foundation, serta mendukung berdirinya Chicago University.

Tercatat, untuk hibah pertamanya, John D. Rockefeller mengucurkan dana sebesar 100 juta Dollar Amerika Serikat untuk Rockefeller Foundation.

3. Rockefeller Foundation merupakan inisiator Green Revolution (Revolusi Hijau)

Dimulai sejak tahun 1940an, Rockefeller Foundation aktif terlibat dalam upaya pengembangan pertanian di negara-negara berkembang, terutama Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Aktivitas pertamanya adalah Mexican Agriculture Programme (MAP) pada tahun 1943, yaitu suatu upaya meningkatkan produktivitas pertanian dengan menggunakan teknologi modern. Inisiatif tersebut di kemudian hari dikenal sebagai Green Revolution (Revolusi Hijau).

Peran Rockefeller Foundation terutama dalam hal penyediaan berbagai sumber daya untuk membantu petani dalam mengadopsi teknik pertanian baru yang lebih efektif dan efisien. Dengan meningkatnya hasil pertanian, maka akan meningkat pula ketersediaan pangan bagi masyarakat negara berkembang, sehingga mengurangi risiko kelaparan dan malnutrisi.

Selain dampak positif, dampak negatif yang ditimbulkan oleh Green Revolution juga telah lama menjadi sorotan. Penggunaan pestisida dan pupuk kimia misalnya, terbukti telah menjadi penyebab dari degradasi lingkungan. Selain itu, masalah sosial pun banyak bermunculan, misalnya kesenjangan sosial yang lebih tinggi, karena Green Revolution menguntungkan petani besar dibandingkan petani kecil.

Di Indonesia, Green Revolution telah dimulai sejak Orde Baru (Orba) sebagai bagian dari program pembangunan nasional. Melalui Bimbingan Masyarakat (Bimas), pemerintah memperkenalkan cara baru bertani dengan menggunakan teknologi modern, seperti penggunaan bibit unggul, pestisida, dan mesin pertanian. Hasilnya, Indonesia berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984 meskipun hal tersebut tak berlangsung lama.

4. Cacing tambang, pintu masuk Rockefeller Foundation ke Hindia Belanda

Keterlibatan Rockefeller Foundation di Indonesia telah dimulai sejak era kolonial, yaitu sejak kehadiran Dr. Victor J. Heiser, seorang dokter berkebangsaan Amerika Serikat yang bekerja untuk Rockefeller Foundation, pada pertengahan tahun 1920an. Heiser memiliki jabatan khusus sebagai direktur untuk wilayah Asia Timur dalam International Health Board (IHB) di bawah Rockefeller Foundation. Tujuan kedatangannya adalah untuk menawarkan bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia belanda berkaitan dengan masalah kesehatan masyarakat, terutama endemi cacing tambang.

Setelah melakukan negosiasi yang panjang dengan pemerintahan kolonial Belanda, pada tahun 1924, yayasan mengirimkan perwakilannya untuk bertugas di wilayah Hindia Belanda, yaitu Dr. John Lee Hydrick dan Dr. Van Noort. Tak berjalan lancar, Hydrick yang berkebangsaan Amerika Serikat memulangkan Van Noort yang berkebangsaan Belanda dengan alasan tidak bisa bekerja sama.

Propaganda kesehatan juga dilakukan Rockefeller Foundation, terutama yang berkenaan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan pencegahan penyakit. Tak jarang, terjadi benturan kepentingan antara pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan Rockefeller Foundation, terutama berkenaan dengan motif terselubung dari kehadiran yayasan tersebut.

5. Rockefeller Foundation sebagai penyebab Covid-19

Beberapa tahun lalu, ramai beredar unggahan video pendek yang menyebutkan bahwa Covid-19 merupakan hasil rekayasa dari Rockefeller Foundation.

“Sudah direncanakan 2010, oleh Rockefeller Foundation dan disimulasikan 2012, lalu dimainkan untuk 2020 di Indonesia, tapi kalau di luar sudah disosialisasikan 2019,” ungkap salah satu narasumber.

Masih menurut narasumber, hal tersebut dilakukan demi akselerasi digitalisasi.

Namun, beberapa sumber yang kredibel menyebut bahwa hal tersebut tidak benar.